MAKALAH
ULUMUL HADIST
**
KODIFIKASI HADIST ABAD KE – II, III,IV,V SAMPAI SEKARANG **
DOSEN PENGAMPU
AHMAD
LUTHFI, S.Ag, M.E.I

DI
SUSUN OLEH KELOMPOK 2 :
1. AHMAD
SARNUBI NIM / NIMKO : 11.42.540
MAHASISWA SEMESTER 1A KPI
SEKOLAH TINGGI AGAMA ISLAM AN – NADWAH
KUALA TUNGKAL
TAHUN AKADEMIK 2011/2012
KATA
PENGANTAR
Alhamdulillah,
ucapan syukur kami panjatkan pada Allah S.W.T, Tuhan semesta alam, pemilik
segenap kekuatan. Dialah maha penagasih yang tak pilih kasih, maha penyayang
yang tak pandang sayang. Dengan segenap kekuatan yang di limpahkan, kami mampu
menyelsaikan makalah yang berjudul “Kodifikasi
Hadist Abab Ke II, III, IV, V Sampai Sekarang“
Shalawat
dan salam semoga tetap terrlimpahkan kepada baginda Rasullullah
S.A.W,Kelauraganya,Sahabatnya, dan seluruh umatnya hingga hingga hari akhir
(Kiamat).
Dalam
penyusunan makalah ini, kami mengalami banyak kesulitan, karena keterbatasan
ilmu pengetahuan yang di miliki. Untuk itu kritik dan saran yang membagun dari
pembaca sangat kami harapkan demi kesepurnaan makalah ini .
Kuala
Tungkal, Oktober 2011
Penulis
i
DAFTAR ISI
HALAMAN
DEPAN
KATA
PENGANTAR ........................................................................................ ... i
DAFTAR
ISI ...................................................................................................... ii
BAB
I PENDAHULUAN.....................................................................................
1
A.
LATAR BELAKANG ............................................................................ 1
B. TUJUAN PENULISAN ......................................................................... 1
BAB
II PEMABAHASAN ................................................................................. 2
A. KODIFIKASI HADIST ........................................................................ 2
1. PENGERTIAN KODIFIKASI ........................................................ ... 2
B. ABAD KE II H DIWANUL HADIST ................................................... 3
1.
PENGERTIAN DIWANUL HADIST .............................................. 3
2.
KAPANKAH KODIFIKASI HADIST RESMI ............................... 3
3.
LATAR BELAKANG TADWINUL HADIST ................................ 5
C. KEADAAN HADIST ABAD KE II H .................................................. 6
1. ALASAN
KODIFIKASI HADIST ................................................... 6
2. CIRI-CIRI KITAB HADIST YANG
DIKODIFIKASIKAN PADA
ABAD KE II .................................................................................. ... 8
D. PERIODE PENYARINGAN HADIST ABAD KE III H ..................... 12
E.
PERIODE PENGHAFALAN HADIST ABAD KE IV H ..................... 15
A. KEGIATAN PERIWAYATAN HADIST ....................................... 15
B. BENTUK PENYUSUNAN KITAB PADA
PRIODE INI .............. 15
F.
PERIODE MENGKLASIFIKASIKAN DAN MENSISTEMASIKAN SUSUNAN KITAB –KITAB HADIST ABAD
KE V SAMPAI SEKARANG ................................... 18
BAB
III PENUTUP ............................................................................................ 20
A.
KESIMPULAN ................................................................................... 20
B.
SARAN ............................................................................................... 20
DAFTAR
PUSTAKA
ii
BAB
I
PENDAHULUAN
A. LATAR BELAKANG
Hadist
merupakan sebagai rujukan hukum islam
yang kedua, memiliki sejarah yang unik di bandingkan Al–Qur’an. Jika Al-Qur’an
sebagai rujukan pertama, maka tidak heran jika penjagaannya sangat serius dan signifikan mulai awal diwahyukan sampai
sekarang. Beda halnya dengan al-Hadits, yang pada awalnya terkesan kurang
begitu mendapat perhatian, terutama ditinjau dari segi penulisannya. karena
memang pada awal-awal Islam, penulisan Hadits dikhawatirkan akan mengakibatkan
terjadinya "Iltibas" (pencampuran / kesamaran) dengan ayat-yat
al-Quran. hal ini memang masuk akal, dikarenakan umat Islam pada awal-awal
Islam masih terbilang sedikit yang hafal Al-Quran ataupun ahli Qiraah. namun
akan janggal, ketika alasan "Iltibas" itu tetap dipertahankan, ketika
umat Islam sudah banyak yang hafal, dan para ahli Qiraah sudah tidak
terhitung banyaknya[1].
Keadaan seperti itu terus berlanjut,
hingga akhir abad pertama. para ulama (Tabi'in) mulai merasa khawatir, ketika
al-Hadits tidak dilestarikan (dikodofikasikan). maka muncullah khalifah Umar
bin Abdul Aziz (menurut pendapat masyhur) sebagai pelopor pertama
pengkodifikasian al-Hadits secara resmi.
B. TUJUAN PENULISAN
Dalam makalah singkat ini, penulis ingin
sedikit menguraikan pelbagai fase perjalanan " Pengkodifikasian Hadist
Pada Abab ke II, III, IV, V Sampai Sekarang”. Dan bagaimana
pendapat sahabat agar dapat membuka suatu pandangan yang konfrehensif terhadap
pengkodifikasian hadist
BAB II
PEMBAHASAN
A. KODIFIKASI HADIST
Hadist
merupakan sumber Hukum Islam kedua setelah Al-Qur’an. Oleh karena hadist
menduduki peringkat kedua setelah Al-Qur’an, maka suatu keharusan bagi kaum
muslimin untuk mepelajarinya. Tanpa mengenal hadist, rasanya sulit untuk
memahami ilmu-ilmu keislaman. Sebagaimana dikemukakan oleh al-Zarkasyi
(1344-1391) bahwa Ilmu Hadist termasuk ilmu yang telah matang dan telah pula
terbakar, artinya ilmu yang banyak dibahas oleh para ulama dan menjadi mahkota
ilmu-ilmu keislaman.
Meskipun Hadist bukanlah hal yang
baru bagi masyarakat Islam masa kini, karena semenjak Muhammad SAW dikenal
dengan nama hadist. Hadist tidak lain adalah segala yang dinukilkan pada
Rasulullah baik perkataan, perbuatan, takrir dan hal-ikhwalnya. Namun yang
menarik adalah kenapa hadist ini dihimpun ( dikodifikasikan ).
1. PENGERTIAN
KODIFIKASI
Yang
dimaksud kodifikasi ( Tadwinul Hadist ) adalah mengumpulkan, menghimpun atau
membukukan, yakni mengumpulkan dan menertibkannya. Adapun yang dimaksud dengan
kodifikasi hadis adalah menghimpun catatan-catatan hadis Nabi dalam mushaf.
Antara
kodifikasi (tadwin) hadist dan Jam’ul Qur’an memiliki perbedaan. Sebagaimana
dikatakan Muhammad Quraisy Syihab , pencatatan dan penghimpunan (tadwin) hadist
Nabi tidak sama dengan pencatatan dan penghimpunan al-Qur’an (Jam’ul Qur’an) .
Dalam tadwin hadist, tidak dibentuk tim, sedangkan dalam Jam’ul Qur’an dibentuk
tim . Kegiatan penghipunan hadist dilakukan secara mandiri oleh masing-masing
ulama ahli hadist. Sekiranya penghimpunan hadist itu harus dilakukan oleh
sebuah tim, niscaya tim itu akan menjumpai banyak kesulitan, karena jumlah
periwayat hadist sangat banyak dan tempat tinggal mereka tersebar di berbagai
daerah Islam yang cukup berjauhan.
Di
samping itu, hadist Nabi SAW tidak hanya termuat dalam satu kitab saja. Kitab
yang memuat hadist Nabi cukup banyak ragamnya, baik dilihat dari segi nama
penghimpunnya, cara penghimpunannya, masalah yang dikemukakannya, maupun bobot
kualitasnya. Sedangkan kitab yang menghimpun Seluruh ayat al-Qur’an yang
dikenal dengan Mushaf al-Qur’an hanya satu macam saja. Dengan demikian,
penghimpunan hadist Nabi berbeda dengan penghimpunan al-Qur’an.
Masa kodifikasi
(tadwin) hadist terbagi dua, yaitu
Ø
Kodifikasi hadist yang bersifat
pribadi (tadwin al-syakhshiy) dan
Kodifikasi yang bersifat pribadi belum menjadi kebijaksanaan pemerintah
secara resmi sudah dimulai sejak masa Rasul. Sementara
Ø
Kodifikasi hadist secara resmi
(tadwin al-rasmiy).
Kodifikasi hadis secara resmi menjadi kebijaksanaan pemerintah secara
resmi baru dimulai pada masa Umar ibn Abdul Aziz.
B. ABAD KE II H DIWANUL HADIST
1.
PENGERTIAN DIWANUL HADIST
Mengutip
dari kitab al Muhith al fairuz mengatakan bahwa : tadwin secara bahasa di
terjemahkan dengan kumpulan shahifah ( mujtama’al shuhuf). Mengikat yang
berserakan lalu mengumpulkannya menjadi satu diwan atau kitab yang terdiri
darilembaran-lembaran[2].
Sedangkan secara makna luasnya adalah al jam’u (mengumpulkan / membukukan).
Apabila
merujuk dari dua pengertian diatas dapat di simpulkan pentadwinan hadist dapat
diartikan diwanul hadist, dalam bahasa Indonesia nya tadwin ini lebih umum di
kenal dengan nama kodifikasi.
2. KAPANKAH
KODIFIKASI HADIST RESMI
Beberapa
pendapat yang berbeda mengenai kapan kodifiikasi hadist secara resmi dan
serentak di mulai antara lain :
Ã
Kelompok Syi’ah : atas
dasar pendapat hasan al – sadr (1272 – 1354 H), bahwa penulisan hadist telah
ada sejak masa Nabi dan komplikasi hadist telah ada sejak awal khalifah Ali Bin
Abi Thalib (35 H), terbukti adanya kitab Abu Rafi, (kitab al sunan wal ahkam
wal qadaya)
Ã
Sejak abab I H, yakni atas
prakarsa gubernur mesir Abdul Aziz Bin Marwan yang memerintahkan kepada Khatir
bin Murrah seorang ulama Himsy yang di perintahkan untuk mengumpukan
hadist, yang kmudian disanggah oleh Syudi Ismail dengan alasan bahwa perintah
Abdul Aziz Bin Marwan bukan perintah resmi legal dan kedinasan terhadap ulama
yang berada di luar wilayah kekuasaanya.
Ã
Sejak Awal Abad Ke II H, yakni
masa ke 5 dinasti Abbasiyyah, Umar Ibnu Abdul Aziz yang memerintahkan kepada
semua gubernur dan ulama’ di wilayah kekuasaanya utuk mengumpulkan hadist
- hadist Nabi. Khalifah ini terkenal
dengan sebutan Umar II, yang mengisaratkan bahwa ia adalah pelanjut
kekhalifahan Umar Ibn Khattab yang bijak sana
dalam memimpin tampuk kekuasaan. Khalifah Umar menginstruksikan kepada gubernur
madinah Abu Bakar Bin Muhammad Bin Amr Bin Hazm (Ibnu Hazm) untuk mengumpukan
hadist yang ada padanya dan pada Tabi’in wanita Amrah Binti Abdurrahman
Bin Sa’ad Bin Zurarah Bin ‘Ades, Murid Aisyah Ummul Mukminin. Beliau
menyatakan kepada Abu Bakar Muhammad Ibn Amr Ibn Hazm “ Lihat dan priksalah apa
yang dapat diperoleh dari hadist Rasulullah SAW, lalu tulislah karena aku takut
akan lenyapnya ilmu disebabkan meninggalnya ulama’ dan jangan ada terima selain
hadist Rasulullah SAW dan hendaklah anda sebarkan ilmu dan menggandakan
majelis-majelis ilmu supaya orang yang tidak mengatahui dapat mengetahuinya
lantaran tidak lenyapnya ilmu hingga di jadikannya barang rahasia”.
Berdasarkan
instruksi resmi khalifah itu, Ibn Hazm meminta bantuan dan menginstruksikan
kepada Abu Bakar Muhammad bin Muslim bin Ubaidillah Bin Syihab Az Zuhry (
Ibnu Syihab Az Zuhry ) seorang
ulama besar dan mufti Hijaj dan Syam untuk turut membukukan hadist Rasulullah
SAW.
Pendapat
ini yang dianut para Jamhur Ulama’ Hadist, dengan pertimbangan Jabatan
Gubernur, Khalifah memerintahkan kepada gubernur dan ulama’ dengan perintah
resmi dan legal serta adanya tindak lanjut yang nyata dari para ulama’ masa itu
untuk mewujudkan demi terkumpulnya hadist dan kemudian menggandakan serta
menyebarkan ke berbagai tempat.
Dengan
demikian, penulisan hadist yang sudah ada dan marak tetapi belum selesai di
tulis pada masa Nabi, baru di upayakan kodifikasinya secara serentak, resmi dan
masal pada abab ke II H, yakni pada masa Khalifah Umar bin Abdul Aziz,
meskipun inisiatif tersebut awalnya berasal dari ayahnya, Gubernur Mesir yang
pernah mengisaratkan hal yang sama sebelumnya.
3. LATAR BELAKANG TADWINUL HADIST.
Pembukuan hadist dimulai pada akhir abab
pertama Hijriah, dan rampung pada pertengahan abad ke III hal ini tidak terlepas dari adanya dorongan
pembukuan hadist oleh khalifah Umar Ibn Abdul Aziz (Khalifah ke 8 bani
Umayyah) yang naik tahta dan berkuasa pada tahun 99 H, beliau dikenal
sebagai orang yang Adil dan Wara’bahkan sebagaian ulama’ menyebutnya sebagai Khulafaur Rasyidin
yang ke 5 karena tergeraknya hati beliau untuk membukukan hadist dengan
motif :
Ø
Beliau khawatir ilmu hadist akan
hilang karena belum di bukukan dengan baik dan resmi
Ø
Kemauan beliau yang kuat untuk
menyaring hadist palsu ( Maudhu’) yang banyak beredar pada masa itu
Ø
Al – Qur’an sudah dibukukan dalam
bentuk Mushaf, sehingga tidak ada lagi ke khawatiran akan tercampurnya dengan
hadist bila hadist di bukukan.
Ø
Peperangan dalam penaklukan negeri
– negeri yang belum islam dan peperangan antar sesama kaum muslimin banyak
terjadi, di khawatirkan ulama’ hadist berkurang karena wafat dalam
peperangan-peperangan tersebut.
Dari
sudut analisa politik tindakan Umar II
ini adalah untuk menemukan dan mengukuhkan landasan pembenaran bagi ideologi
jama’ahnya,yang dengan ideologi ia ingin merangkul seluruh kaum muslimin tampa
memandang aliran politik atau pemahaman keagamaan mereka,termasuk kaum syi’ah
dan Khawarij yang merupakan kaum oposan terhadap rezim Umayyah. Umar II melihat
bahwa sikap yang serba akomodatif pada
semua kaum muslim tanpa memandang aliran politik atau paham keagamaan khasnya
telah diberikan contohnya oleh penduduk madinah, di bawah kepeloporan tokoh-
tokoh seperti Abdullah Ibn Umar (Ibn Al – Khattab), Abdullah Ibn Abbas dan
Abdullah Ibn Mas’ud .
Mustafa
Al – Siba’I dalam majalah Al – Muslimin seperti yang di kutip Nurcholis Madjid
amat menghargai kebijakan Umar II berkenaan dengan pembukuan Sunnah,meskipun ia
menyesalkan sikap khalifah yang baginya terlalu banyak memberi angin segar pada
kaum Syi’ah dan Khawarij (karena dalam pandangan al- siba’i, golongan
oposisi itu kemudian mampu memobilisasi diri sehingga dalam kolaborasinya
dengan kaum Abbasi, mereka akhirnya mampu meruntukhan Dinasti Umayyah dan
melaksanakan pemebalasan dendam yang sangat kejam).dan menurut Al – Siba’i
sebelum masa Umar II pun sebetulnya sudah ada usaha-usaha pribadi untuk
mencatat hadist sebagaimana dilakukan Oleh Abdullah Ibn Amr Ibn Ash.
C. KEADAAN HADIST ABAD KE II H
1. ALASAN KODIFIKASI HADIST
Setelah agama Islam tersiar dengan luas di
masyarakat, dipeluk dan dianut oleh penduduk yag bertempat tinggal di luar
jazirah arab, dan para sahabat mulai terpencar dibeberapa wilayah bahkan tidak
sedikit jumlahnya yang telah meninggal dunia, maka terasa perlu al-Hadits
diabadikan dalam bentuk tulisan dan dibukukan.
Urgensi ini menggerakkan Khalifah Umar bin
Abdul Aziz (61-101 H).[3] sebagai (Khalifah ke 8 dari Bani Umayyah)[4] berinisiatif
mengkodifikasikan al-Hadits dengan beberapa pertimbangan :
a. Kenginan beliau yang kuat untuk menjaga
keontetikan hadits. karena beliau khawatir lenyapnya hadits dari perbendaharaan
masyarakat, disebabkan belum adanya kodifikasi al-Hadits.
b. Keingina beliau yang keras untuk
membersihkan dan memelihara Hadits dari hadits-hadits maudhu' yang dibuat oleh
masyarakat untuk mempertahankan ediologi golongan dan mempertahankan
madzhabnya, disebabkan adanya Konflik Politik ataupun "Fanatisme
Madzhab" berlebihan, yang mulai tersiar sejak awal berdirinya
Khilafah Ali bin Abi thalib.
c. Alasan tidak terkodifikasinya Hadits di
zaman Rasulullah saw. dan khulafaurrasyidin karena adanya kekhawatiran
bercampur aduknya dengan al-Quran, telah hilang. hal ini disebabkan al-Quran
telah dikumpulkan dalam satu mushaf dan telah merata diseluruh pelosok. Ia telah dihafal dan diresapkan di hati
sanubari beribu-ribu umat Islam.
d. Hingga pada penghujung abad ke I, Khalifah
Umar bin Abdul Aziz menginstruksikan (secara resmi) kepada para pejabat dan
ulama yang memegang kekuasaan di wilayah kekuasaannya untuk mengumpulkan dan
mengkodifikasikan hadits[5].
Beliau juga menginstruksikan
kepada Wali Kota madinah, Abu Bakar bin Muhammad bin Amr bin Hazm (177 H.),
untuk mengumpulkan hadits yang ada padanya dan pada Tabi'iy wanita, 'Amrah binti
Abdur Rahman al-Anshariyah[6].
اكتب إلي بما ثبت عندك من حديث رسول الله صلى الله عليه
وسلم بحديث عمرة فإني خشيت دروس العلم وذهابه ( رواه الدارمي )
"Tulislah
padaku hadits Rasulullah saw. yang ada padamu dan hadits 'Amrah (binti Abdur
Rahman), sebab aku takut akan hilang dan punahnya ilmu"
Atas
instruksi itu, Ibnu Hazm mengumpulkan hadits-hadits, baik yang ada pada dirinya
maupun yang ada pada 'Amrah, tabi'y wanita yang banyak meriwayatkan dari
'Aisyah r.a. begitu juga beliau menginstruksikan kepada Ibnu Syihab al-Zuhry
seorang Imam dan ulama di Hijaz dan Syam (124 H). beliau mengumpulkan
dan menulis hadits-hadits dalam lembaran-lembaran dan dikirimkan kepada
masing-masing penguasa di tiap-tiap wilayah satu lembar. itulah sebabnya para
ahli sejarawan dan ulama menganggap bahwa Ibnu Syihab adalah
orang yang pertamakali mengodifikasikan hadits secara resmi atas
perintah Khalifah Umar bin Abdul Aziz.
Setelah
periode Ibnu Hazm dan Ibnu Syihab berlalu, muncullah periode pengkodifikasian
hadits yang di cetuskan oleh khalifah-khlalifah Abbasyiah. Maka bangunlah ulama’-ulama’
pada periode ini seperti : di mekah, Ibnu Juraij al-Bashary ( w. 150
H.). di Madinah, Abu Ishaq (w. 151 H.) al-Imam Malik bin
Anas (w. 179 H.). di Bashrah, al-Rabi' bin Shabih (w. 106 H) dan
Hammad bin Salamah (w. 176 H.). di Kufah, Sufyan Atsaury (w. 166 H.). Di
Syam, al-Auza'iy (w. 156 H.). di Syam, Hasyim (w 156 H.) dan Ibnu
al-Mubarak (w. 171 H.).
Oleh karena mereka hidup dalam generasi
yang sama, yaitu pada abad ke II H., sukar untuk ditetapkan siapa diantara
mereka yang lebih dahulu. yang jelas bahwa mereka itu sama berguru kepada Ibnu
Hazm dan al-Zuhry.
2. CIRI-CIRI KITAB HADITS YANG
DIKODIFIKASIKAN PADA ABAD KE-II H
Terdorong oleh kemauan keras untuk
mengumpulkan (mentadwin) hadits sebanyak-banyaknya, mereka tidak menghiraukan
atau belum sempat menyeleksi apakah mereka mendewankan hadits Nabi semata–semata,
ataukah termasuk fatwa-fatwa sahabat dan tabi'in. bahkan lebih jauh dari itu
mereka belum mengklarifikasi kandungan nash-nash Hadits menurut
kelompok-kelompoknya.
Dengan demikian, karya ulama abad II H ini masih
bercampur aduk antara hadits-hadits Rasulullah dengan fatwa-fatwa sahabat dan
tabi'in. Walhasil, bahwa kitab-kitab hadits karya ulama-ulama tersebut
belum dipisah antara hadits marfu', mauquf dan maqthu',
dan diantara hadits yang Shahih, Hasan dan Dhaif.
sedangkan kitab-kitab hadits yang masyhur
karya ulama abad kedua antara lain :
1.
Al-Muwaththa', kitab itu disusun oleh al-Imam Malik
pada tahun ( 93 – 179 H ) selama rentang waktu ini, sejumlah buku hadist telah
disusunnya kitab ini memiliki kedudukan tersendiri pada priode ini. Dan buku
ini di tulis antara tahun 130 H sampai 144 H. atas anjuran Khalifah al-Manshur.
jumlah hadits yang terdapat dalam al-Muwaththa' kurang lebih 1720 buah hadits.
*
600 Hadistnya Marfu’ ( terangkat
sampai kepada Nabi SAW )
*
222 Hadistnya Mursal ( adanya
perawi sahabat yang di gugurkan )
*
617 Hadistnya Mauquf ( terhenti
sampai kepada tabi’in )
*
275 Sisanya adalah ucapan Tabi’in.
kehadirannya
dalam masyarakat mendapat sambutan hangat dari pendukung-pendukung sunnah.
sebagaimana ia di isyaratkan dan dikomentari oleh ulama-ulama hadits yang
datang kemudian, juga diringkasnya. al-Suyuthi mensyarah kitab tersebut dengan
kitab "Tanwiru al-Hawalik", dan al-Khaththaby
mengikhtisharnya dengan kitab yang beranama "Mukhtahsaru
al-Khaththaby"
2. Musnadu al-Syafi'Ibnu Abi Ya'la, Muhammad bin Idris Asy – Syafi’i ( 150 –
204 H ), didalam kitab ini, al-Syafi'i mencantumkan seluruh hadits yang berada
dalam kitab al-Umm.
3. Mukhtalifu al-Hadits, karya Imam ( 150 – 204 H ), beliau menjelaskan
dalam kitab ini, cara-cara menerima hadits sebagai hujjah, dan menjelaskan
cara-cara untuk mengkrompomikan hadits-hadits yang tampaknya kontradiksi antara
satu dengan yang lain.
4.
Al – Musnad oleh Imam Abu Hanifah
An- Nu’man ( Wafat 150 H )
5.
Al – Musnad oleh Imam Ali Ridha Al
– Katsin ( 148 – 203 H ).
6.
Al – Jami’ oleh A Abdulrazaq Al –
Hamam Ash Shan’ani ( Wafat 311 H )
7.
Mushannaf oleh Imam Syu’bah bin
Jajaj ( 80 – 180 H ).
8.
Mushannaf oleh Imam Laits bin
Sa’ud ( 94 – 175 H ).
11. Mushannaf oleh Imam Sufyan bin Uyaina ( 107 – 190 H ).
12. As-Sunnah oleh Imam Abdurrahman Bin Amr Al-Auza’I ( wafat 157 H
).
13. As-Sunnah oleh Imam Abd
bin Zubair bin Isa Al – Sadi .
Semua kitab-kitab hadist yang ada pada abad ini tidak sampai kepada kita
kecuali 5 buah saja yaitu no 1 sd 5.
D.
PERIODE PENYARINGAN
AL-HADITS ABAD KE III H
Pada
abad ke III H ini para ulama’ hadist memfokuskan pengkodifikasian hadist pada
beberapa hal yang dikala waktu abad ke 2 H tidak terlaksana. Sudah di kemukakan
pada masalah sebelumya bahwa pembukuan hadist belum terpisah – pisah anatara
hadist yang saheh, hasan, mauquf dan maudhu’.
Beberapa langkah untuk
melestarikan hadist pada abad ke III H ini adalah sebagai berikut :
v
Perlawatan kedaerah – daerah para
perawi hadist yang jauh dari pusat kota
Contohnya ;
Imam Bukhari melakukan perlawatan selama 16 tahun ke lebih 8 kota di timur tengah
seperti Mekah, Madinah, Bagdad Mesir dll.
v
Pengklafikasian hadist marfu’,
mauquf dan maudlu’( palsu )
v
Hadist Nabi, Asar Sahabat, dan
Aqwal ( Ucapan ) Tabi’in dikategorikan, dipisah dan dibedakan
v
Riwayat Maqbulah ( di terima )
dihimpun secara terpisah dan buku – buku pada abad ke II diperiksa kembali dan
di tashih ( diautentikasi).
v
Selama priode ini, bukan hanya
riwayat yang di kumpulkan, namun untuk memelihara dan menjaga hadist ( lebih
dari 100 ilmu 19 ) dimana ribuan buku mengenai ini telah di tulis.
v
Penyeleksian dan pemilihan hadist
kepada shahih, hasan dan dhaif.
Contoh :
·
Penyaringan Hadist Sahih oleh imam
ahli hadist Ishaq Bin Rawahih ( Gurunya Imam Bukhari )
·
Penyusunan kitab Saheh Bukhari
Periode ini dikenal dengan periode
penyaringan Hadits atau seleksi hadits yang ketika itu pemerintahan dipegang
oleh Khalifah dari Bani Umayyah. pada masa ini para ulama bersungguh-sungguh
mengadakan penyaringan Hadist, melalui kaidah-kaidah yang ditetapkan, mereka
berhasil memisahkan hadits-hadits yang dhaif dari yang shahih,
dan hadits- yang mauquf dan maqthu' dari yang marfu',
meskipun berdasarkan penelitian masih ditemukan beberapa hadits dhaif yang
terselip di kitab hadits shahih mereka[7].
Maka pada pertengahan abad ketiga ini, mulai muncul kitab-kitab hadit yang
hanya memuat hadits-hadits shahih, dan pada perkembangannya dikenal dengan "al-Kutubu
al-Sittah" yaitu :
1. Shahih al-bukhari atau al-Jami'u al-Shahih[8]. karya Muhammad bin Ismail al-Bukhari
(194-256 H.)
Beliau adalah Amir al-Mukminin dalam hadist beliau bernama Abu Abdullah Muhammad bin Isma’il bin ibrohim Bin Mughirah
bin Bardizbah Beliau dilahirkan 13 Syawal 194 H, wafat malam idul fitri tahun
256 H. Karena keluasan ilmu dan kekuatan hafalannya dia dijuluki Imam
al-Muhaddisin. Menurut
penelitian Ibnu Hajar (852 H.). seperti yang disebutkan dalam pendahuluan
kitabnya "Fathu al-Bari Fi Syarhi al-Bukhari", kitab shahih
itu berisi 9.082 hadits yang terdiri dari 2602 buah hadits yang tidak
terulang-ulang, dan 159 matan hadits marfu'. namun Ibnu Hajar tidak menghitung
hadits marfu' dan maqthu' yang terdapat dalam Bukhari[9].
Kitab tersebut merupakan kitab hadits yang shahih (otentik) setelah
al-Quran. dan di antara Mukhtashar Bukhari ialah Tajridu al-Sharih dan Mukhtashar
Abi Jamrah, Masing-masing karangan Ibnu al-Mubarak dan Ibnu Abi Jamrah.
2. Shahih al-Muslim,, karya al-Imam Muslim bin Hajjaj bin Muslim
al-Qusyairy al-Naisabury (204-261 H.)[10].
Nama lengkap beliau adalah Imam Abdul
Husain bin al–Hajjaj bin Muslim. Dia dilahirkan Naisabur tahun 204 H
wafat tahun 261 H. Beliau adalah imam hadits kedua setelah Imam Bukhari.
Menurut sebagian ulama Maghribi dan Abu Muhammad bin Hazm Al-Dzahiri
kitab yang dikarang oleh beliau lebih utama dibandingkan dengan Sahih Bukhari.
Hal ini dikarenakan ada beberapa hal yang membuat kitab Sahih Muslim lebih
diutamakan antara lain:
1. Karena kebagusan susunannya yang teratur.
2. Hadits
yang teriwayatkannya sejalan dan dalam satu tema di kumpulkan dalam satu
tempat, tanpa memotong hadits ke dalam bab lain.
3. Hadits yang diriwayatkan hanya hadits
marfu’ dan tidak meriwayatkan hadits mauquf dan muallaq.
Jika mereka mengutamakan Sahih
Muslim karena beberapa hal berdasarkan syarat-syarat keshahihan hadits kami
tidak sependapat. Walaupun begitu kitab Sahih Bukhori dan Muslim merupakan
kitab paling sahih yang pernah ditulis oleh imam hadits. Pengarangnya telah
memberikan sumbangan yang luar biasa besarnya kepada agama. Oleh karena itu
kita patut bersyukur dengan menghormati mereka atas jasanya yang tidak
dipungkiri lagi.
3. Sunan Abu dawud, karangan Abu Dawud
Nama lengkap
beliau adalah Sulaiman bin al-Asy’as bin Ishaq Basyir bin Syidad bin Amir
al-Sajastani, dia dilahirkan tahun 202 H
wafat 275 H. Hadits yang ditulis oleh beliau tidak hanya memasukkan hadits
sahih saja, akan tetapi memasukkan hadits hasan dan dha’if. Dalam kitab yang
dikarang oleh beliau terkenal sebagai kitab Hakim .
4. Sunan al-Tirmidzi, Karangan Muhammad bin Isa bin Surah al-Tirmidzi.
Beliau lahir pada malam senin 13 Rajab tahun 209 H
dan wafat tahun 279 H. Metode yang digunakan beliau dalam menulis hadits adalah
apapun yang diamalkan oleh ahli fiqh maka oleh beliau diriwayatkan. Oleh karena itu beliau meriwayatkan hadits baik yang hasan,
dhoif, ghorib dan muallal dengan disertai penjelasan sesuai dengan derajad
haditsnya.
5. Sunan Nasa'i, karangan Ahmad Bin Sya’ban Abu Abdu al-Rahman bin Suaid Ibnu Bahr al-Nasa'iy. Beliau lahir pada tahun 215 H dan wafat tahun 303 H
dalam kitab beliau yang bernama Sunan Nasai hampir sama dengan kitab hadits
bukhori dan Muslim dengan artian yang ditulis di dalamnya adalah hadits yang
sahih meskipun ada sedikit hadits yang dha’if.
6. Sunan Ibnu Majah, karangan Muhammad Abu Abdillah Ibnu Yazid Ibnu Majah Beliau lahir pada tahun 209 H dan wafat tahun 273 H. dari
kelima kitab hadits kitab karangan beliau yang menempati urutan yang keenam.
Hal ini karena ada sebagian ulama yang tidak mengikutsertakan kitab karangan
Imam Ibnu Majjah ke dalam kitab hadits pokok.
7.
As-Sunan oleh Imam Abu
Muhammad Abdullah Bin Abdurrahman Ad Damiri ( 181- 255 H )
8.
Al–Musnad oleh Imam Bin Hambal
( 164 – 241 H )
9.
Al–Muntaqa Al Ahkam oleh Imam
Abdul Hamid Bin Jarud ( Wafat 307 H )
10. Al–Mushannaf oleh Imam Ibn Abi Syaibah ( Wafat 235 H )
11. Al–Kitab oleh Imam Muhammad Said Bin Manshur ( Wafat 227 H )
12. Al–Mushannaf oleh Imam Muhammad Said Bin Manshur ( Wafat 227 H )
13. Tandzibul Afsar oleh Imam Muhammad Bin Jarir At – Thobari (
Wafat 310 )
14. Al–Musnadul Kabir oleh Imam Baqi’bin Makhlad Qurthubi (Wafat 276
H)
15. Al–Musnad oleh Imam Ishaq Bin Rawahih ( Wafat 237 H )
16. Al–Musnad oleh Imam Ubaidillah bin Musa ( Wafat 213 H )
17. Al–Musnad oleh Abdibni Ibn Humaid ( Wafat 249 H )
18. Al–Musnad oleh Imam Abu Ya’la ( Wafat 307 H )
19. Al–Musnad oleh Imam ibn Abi Usamah Al-Harist Ibn Muhammad At- Tamimi (Wafat 282 H)
Dan masih banyak sekali kitab-kitab musnad
yang di tulis oleh para ulama abad ini.
E.
PERIODE PENGHAFALAN
HADITS ABAD KE IV H
A. KEGIATAN PERIWAYATAN HADIST
Pada priode ini penghimpunan hadist
disertai pemeliharaan nya tetap dilakakukan walau tidak sebanyak yang
sebelumnya. Hanya saja hadist-hadist yang di himpun tidaklah sebanyak sebelum
priode ini.
Didalam era ini jenis kitab-kitab
hadsit Nabi SAW. Mencakup sebagain besar kitab-kitab hadist yang sifatnya
mengumpulkan kitab-kit ab hadist yang telah dihimpun dalam kitab-kitab hadist
Nabi SAW sebelumnya.
Kegiatan periwayatan hadist pada
priode ini banyak dilakukan dengan cara ijazah ( lesensi/ sertifikat dari guru
utnutk murid untuk mendapat izin meriwayatkan hadist ). Sedikit sekali ulama’
yang melakukan seperti ulama’ Muqaddimin.
B.
BENTUK PENYUSUNAN KITAB PADA PRIODE INI
·
Jami’ Kutub As-Sittah ( kitab
hadist yang mengumpulkan hadist- hadist Nabi SAW yang telah tertuang dalam
gabungan beberapa kitab hadist seperti
·
Saheh Bukhari
·
Saheh Muslim
·
Sunan At – Turmuzi
·
Sunan Abu Daud
·
Sunan An – Nasa’i
·
Sunan Ibnu Majah
·
Diantaranya karya Ahmad bin Razin
Bin Muawiyyah Al Abdari Al Saeqithi ( Wafat 535 H ) dan beberapa kitab lainya.
·
Kitab Istikhraj, yaitu
mengambil sesuatu hadist dari Sahih Bukhari Muslim umpanya, lalu
meriwayatkkannya dengan dengan sanad sendiri, yang lain dari sanad Imam Bukhari
atau Imam Muslim karena tidak memproleh sanad sendiri.
Contohnya
Mustakhraj Shaheh Bukhari oleh Imam Jurjani, dan
Mustakhraj Saheh Muslim oleh Abu Awanah
·
Kitab Athraf, yaitu kitab
yang hanya menyebut sebagain hadist kemudian mengumpulkan seluruh sanadnya,
baik sanad kitab maupun sanad dari beberapa kitab.
·
Kitab – Kitab Zawaid, Yaitu
kitab mengumpulkan hadist-hadist yang tidak terdapat dalam kitab-kitab
sebelumnya kedalam sebuah kitab yang tertentu.
Contohnya
Zawaid Ibnu Majah Ala
Al –Usuli Al Khamsah.
·
Kitab Syarah
·
Kitab Mukhtashar
·
Kitab Petunjuk
·
Kitab Istidrak, yaitu
mengumpulkan hadist-hadist yang memiliki syarat- syarat Bukhari dan Muslim atau
syarat salah seorangnya yang kebetulan tidak diriwayatkan atau di sahehkan oleh
kediuanya.
Contohnya
Al – Mustadrak Ala Shahihaini oleh Imam Abu Abdullah
Muhammad bin Abdullah Al-Hakim An- Naisaburi ( 321 – 405 H )
Abad ke IV H ini merupakan abad pemisahan
antara ulama’ Mutaqaddimin, yang dalam menyusun kitab hadits mereka berusaha
sendiri menemui para sahabat atau tabi’in atau tabi’ tabi’in yang menghafal
hadits dan kemudian menelitinya sendiri, dengan ulama’ mutaakhirin yang dalam
usahanya menyusun kitab-kitab hadits, mereka hanya menukil dari kitab-kitab
yang disusun oleh ulama mutaqaddimin.
Mereka berlomba-lomba untuk menghafal
sebanyak-banyaknya hadits-hadits yang telah dikodifikasikan, sehingga tidak
mustahil sebagian dari mereka sanggup menghafal beratus-ratus ribu hadits.
Sejak periode inilah timbul bermacam-macam gelar keahlian dalam ilmu hadits,
seperti gelar al-Hakim dan al-Hafidz[11]. Adapun Kitab–kitab yang masyhur hasil
ulama abad ke-empat, antara lain :
1. Mu’jamu al-Kabir, M’jamu al-Awsath, Mu’jamu
al-Shaghir, karya
al-Imam Sulaiman bin Ahmad al-Tabrany (360 H).
2. Sunan al-Daruquthny, karya al-Imam Abdul Hasan Ali bin Umar bin Ahmad
al-Daruquthny (306-385 H.).
3. Shahih bin ‘Auwanah, karya Abu ‘Auwanah Ya’qub bin Ishaq bin Ibrahim
al-Asfayainy (354 H.).
4. Shahih Ibnu Khudzaimah, Karya Ibnu Khudzaimah Muhammad bin Ishaq
(316 H.).
F. PERIODE MENGKLASIFIKASIKAN DAN
MENSISTEMASIKAN SUSUNAN KITAB-KITAB HADITS ABAD KE V SAMPAI SEKARANG
Usaha ulama ahli hadits pada abad ke V samapi
sekarang adalah ditujukan untuk mengklasifikasikan Hadits dengan menghimpun
hadits-hadits yang sejenis kandungannya atau sejenis sifat-sifat isinya dalam
satu kitab hadits. Disamping itu mereka pada men-syarahkan[12]
dan mengikhtishar[13]
kitab-kitab hadits yang telah disusun oleh ulama yang mendahuluinya. seperti
yang dilakukan oleh Abu 'Abdillah al-Humaidi (448 H.) adapun contoh kitab-kitab
hadits pada periode ini antara lain:
1. Sunan al-Kubra, Karya abu Bakar Ahmad bin Husain 'Ali al-Baihaqy (384-458 H.)
2. Muntaqa al-Akhbar, karya Majduddin al-Harrany (652 H.)
3. Fathu al-Bari Fi Syarhi al-Bukhari, Karya Ibnu Hajar al-'Asqolany (852 H.).
4. Nailu al-Awthar,
Syarah kitab Muntaqa al-Akhbar, karya al-Imam Muhammad bin Ali al-Syaukany
(1172- 1250 H.)
Hadits dimasa abad V H sampai
sekarang hanya ada sedikit tambahan dan modifikasi kitab-kitab terdahulu.
Sehingga karya-karya ulama hadits abad kelima lebih luas, simple dan sistematis.
Diantara mereka adalah :
1.
Abu Abdillah al-Humaidi tahun 448
H beliau mengumpulkan 2 kitab sahih sesuai urutan sanad.
2. Abu
Sa’adah Mubarak bin al-‘Asyir tahun 606 H beliau mengumpulkan enam kitab
hadis dengan urutan bab.
3.
Nuruddin Ali al-Haitami beliau melengakapi 6 kitab dengan
karangan-karangan lain ( selain kutub
al-sittah ).
4. Al-Suyuthi tahun
911 H beliau menulis kitab yang berjudul al-Jami al-Kabir
Dan muncul pula Kitab-kitab hadits targhib dan tarhib, sepeti :
1. Al-Targhib wa al-Tarhib,
karya al-Imam Zakiyuddin Abdul ‘Adzim al-Mundziry (656 H.)
2. Dalailu al-falihin,
karya al-Imam Muhammad Ibnu ‘Allan al-Shiddiqy (1057 H.) sebagai kitab syarah
Riyadu al-Shalihin, karya al-Imam Muhyiddin abi zakaria al-Nawawawi (676 H.)
Pada
periode ini para ulama juga menciptakan kamus hadits untuk mencari pentakhrij
suatu hadits atau untuk mengetahui dari kitab hadits apa suatu hadits
didapatkan, misalnya :
1. al-Jami’u al-Shaghir fi
Ahaditsi al-Basyiri al-Nadzir , karya al-Imam Jalaluddin
al-Suyuthy (849-911 H.)[14]
2. Dakhairu al-Mawarits fi
Dalalati ‘Ala
Mawadhi’i al-Ahadits, karya al-Imam al-‘Allamah al-Sayyid Abdul Ghani
al-Maqdisy al-Nabulisy[15] .
3. Al-Mu'jamu al-Mufahras Li
al-Alfadzi al-Haditsi al-Nabawy, Karya Dr. A.J. Winsinc dan Dr. J.F.
Mensing[16].
4. Miftahu al-Kunuzi
al-Sunnah, Karya Dr. A.J. Winsinc[17],
BAB III
PENUTUP
A. KESIMPULAN
Dari sedikit uraian sejarah kodifikasi
al-Hadits tersebut, dapat kita tarik sebuah kesimpulan, bahwa hadits yang
sekarang bisa kita nikmati dari kitab-kitab hadits susuanan para ulama,
ternyata memiliki sejarah perjuangan yang besar, dan melalui pelbagai
pertimbangan yang sangat matang, hingga ungkapan "terima kasih"
belaka, penulis kira tidak cukup jika tanpa di seimbangkan dengan aksi nyata.
paling tidak mengembangkan wawasan lebih luas lagi, baik dari segi memahami
kandungan hadits ataupun metode pemahamannya.
B. SARAN
Sudah
sepantasnya kita berterima kasih kepada imam-imam hadits yang begitu susah
payah dalam mengumpulkan hadits. Akan tetapi sebagai pelajar yang sedang
mempelajari hadits, sudah waktunya kita kritis terhadap hadits yang kita
jumpai, apakah itu kajian tentang sanad maupun matan hadits. Karena dengan
begitu kita berarti telah mencoba mengkontekstualisasikan haditst, dengan
harapan menghilangkan asumsi-asumsi bahwa hadits merupakan sebuah budaya yang
terikat dengan ruang, waktu dan zaman yang pada akhirnya menuntut pembekuan
hadits itu sendiri. Bagaimanapun juga kondisi sosial dan budaya telah mengalami
perubahan sehingga diperlukan pula dinamisasi pemahaman pedoman hidup yang
dalam hal ini adalah al-Quran dan hadits. Cukup sekian apa yang dapat kami
sajikan kiranya ada kekurangan mohon untuk dilengkapi.
DAFTAR PUSTAKA
al-Khothib, Muhammad Ajjaj. "Ushulu
al-Hadits Ulumuhu Wa Mushthalahuhu", Daru
al-Fikr. tt. Beirut .
al-Maliki, Muhammad Bin Alwi. "al-Manhalu al-Lathif Fi Ushuli
al-Hadits al-Syarif". al-Sahr. tt. Jeddah.
Mudasir "Ilmu
Hadis" ; 2008 M./1429 H.Pustaka Setia. Surabaya
Rahman, Fatchur. "Khtishar Musthalahu'l Hadits". 1974.
PT. ALMA'ARIF BANDUNG .
Shalih, Shubhi Shalih. "Ulumu al-Hadits Wa Mushthalahuhu".
1959. Daru al-Ilmi Li al-Malayin.
Beirut
[1] Muhammad Bin Alwi
al-Maliki, "al-Manhalu al-Lathif Fi Ushuli al-Hadits al-Syarif".
al-Sahr. tt. Jeddah. hlm 19-20.
[2] Dr.
Muhammad Ibn Mathar Al - Zahrani
[3] bahkan Umar bin Abdul Aziz
sendiri termasuk orang yang menulis al-Hadits, lihat Dr. Muhammad Ajjaj
al-Khothib, "Ushulu al-Hadits Ulumuhu Wa Mushthalahuhu",
Daru al-Fikr. tt.Beirut. hlm. 170
[6] dan al-Qosim bin Muhammad
bin Abu Bakar (107 H.). lihat Muhammad Bin Alwi al-Maliki,Opcit. hlm 22
[7] Drs. H. Mudasir "Ilmu
Hadis" ; 2008 M./1429 H.Pustaka Setia. Surabaya. hlm.109
[8] yang dimaksud dengan al-Jami', yaitu kitab hadits
yang menghimpun delapan bab, yaitu Bab Akidah, Bab Hukum-hukum, Bab Perbudakan,
Bab Tatakrama makan dan minum, Bab Tafsir, sejarah, Perjalanan, Bab Bepergian,
Berdiri, dan Duduk (atau disebut dengan Babu al-Syamail), Bab Fitnah-fitnah,
Bab al-Manaqib dan Matsalib. Dr. Shubhi Shalih. "Ulumu al-Hadits Wa
Mushthalahuhu". 1959. Daru al-Ilmi Li al-Malayiin" Beirut. hlm.122
[10] Kitab tersebut berisi
sebanyak 7.273 hadits, termasuk hadits-hadits yang berulang-ulang. jika tanpa
hadits yang berulang-ulang hanya berjumlah 4000 hadits. Syarah Shahih Muslim
yang terkenal ialah "Minhajul Muhadditsin" karya al-Imam Muhyiddin
Abu Zakaria bin Syaraf al-Nawawy, dan diantara Mukhtasharnya ialah Mukhtashar
al-Mundziri.. lihat , Fatchur. Rahman. "Khtishar Musthalahu'l
Hadits". 1974. PT. Al Ma'arif. Bandung. hlm. 57
[12]
Menguraikan dengan luas hadist-hadist yang telah ada
[13]
Meringkas hadist-hadist yang sudah jelas makna dan tujuannya
[14]kitab yang mengumpulkan
hadits-hadits yang terdapat dalam kitab enam dan lainnya ini disusun dengan
alphabets dari awal hadits, dan selesai ditulis pada tahun 907 H. Ibid.
hlm 60
[15] didalamnya terkumpul kibat
athraf 7 (Shahih Bukhary dan Muslim, Sunan empat dan Muwattha’). Ibid.
[16]
Keduanya adalah
Dosen di Universitas Leiden. Kitab hadits yang mengandung hadits-hadits kitab
enam, musnad al-Darimy, Muwattha’ Malik, dan Musnad Imam Ahmad, selesai dicetak
di Leiden pada tahun 1936 M.
Ibid.
[17] Berisikan hadits-hadits
yang terdapat dalam 14 macam kitab hadits. Kitab tersebuut disalin kedalam
bahasa Arab oleh Ustadz Muhammad fuad abdu al-Baqy dan dicetak dimesir pada
tahun 1934 M. Ibid.
احسنت يا اخي
BalasHapus