Rabu, 26 Oktober 2011

KODIFIKASI HADIST ABAD KE – II, III,IV,V SAMPAI SEKARANG


MAKALAH

ULUMUL HADIST

** KODIFIKASI HADIST ABAD KE – II, III,IV,V SAMPAI SEKARANG **


DOSEN PENGAMPU
AHMAD LUTHFI, S.Ag, M.E.I













DI SUSUN OLEH  KELOMPOK 2 :
1.      AHMAD SARNUBI                NIM / NIMKO : 11.42.540



MAHASISWA SEMESTER 1A KPI
SEKOLAH TINGGI AGAMA ISLAM AN – NADWAH
KUALA TUNGKAL
TAHUN AKADEMIK 2011/2012



KATA  PENGANTAR

Alhamdulillah, ucapan syukur kami panjatkan pada Allah S.W.T, Tuhan semesta alam, pemilik segenap kekuatan. Dialah maha penagasih yang tak pilih kasih, maha penyayang yang tak pandang sayang. Dengan segenap kekuatan yang di limpahkan, kami mampu menyelsaikan makalah yang berjudul “Kodifikasi Hadist Abab Ke II, III, IV, V Sampai Sekarang

Shalawat dan salam semoga tetap terrlimpahkan kepada baginda Rasullullah S.A.W,Kelauraganya,Sahabatnya, dan seluruh umatnya hingga hingga hari akhir (Kiamat).

Dalam penyusunan makalah ini, kami mengalami banyak kesulitan, karena keterbatasan ilmu pengetahuan yang di miliki. Untuk itu kritik dan saran yang membagun dari pembaca sangat kami harapkan demi kesepurnaan makalah ini .


                                                                             Kuala Tungkal,     Oktober 2011


                                                                                                 Penulis







i
DAFTAR ISI
HALAMAN DEPAN
KATA PENGANTAR ........................................................................................  ...  i
DAFTAR ISI ......................................................................................................   ii
BAB I PENDAHULUAN..................................................................................... 1
         A. LATAR BELAKANG ............................................................................  1
         B. TUJUAN PENULISAN .........................................................................  1
BAB II PEMABAHASAN .................................................................................   2
         A.  KODIFIKASI HADIST ........................................................................  2
               1. PENGERTIAN KODIFIKASI ........................................................  ...  2
         B.  ABAD KE II H DIWANUL HADIST ...................................................  3
               1. PENGERTIAN DIWANUL HADIST ..............................................  3
               2. KAPANKAH KODIFIKASI HADIST RESMI ...............................  3
               3. LATAR BELAKANG TADWINUL HADIST ................................   5
         C.  KEADAAN HADIST ABAD KE II H ..................................................  6
               1. ALASAN KODIFIKASI HADIST ...................................................  6
               2. CIRI-CIRI KITAB HADIST YANG DIKODIFIKASIKAN PADA
                   ABAD KE II  ..................................................................................  ...  8
         D.  PERIODE PENYARINGAN HADIST ABAD KE III H .....................  12
         E.  PERIODE PENGHAFALAN HADIST ABAD KE IV H .....................  15
               A. KEGIATAN PERIWAYATAN HADIST .......................................  15
               B. BENTUK PENYUSUNAN KITAB PADA PRIODE INI ..............  15
F. PERIODE MENGKLASIFIKASIKAN DAN MENSISTEMASIKAN SUSUNAN KITAB –KITAB HADIST ABAD KE V SAMPAI SEKARANG ................................... 18
BAB III PENUTUP ............................................................................................  20
          A. KESIMPULAN ...................................................................................  20
          B. SARAN ...............................................................................................  20
DAFTAR PUSTAKA

                                                                  ii

BAB I
PENDAHULUAN
A. LATAR BELAKANG
Hadist merupakan sebagai rujukan hukum  islam yang kedua, memiliki sejarah yang unik di bandingkan Al–Qur’an. Jika Al-Qur’an sebagai rujukan pertama, maka tidak heran jika penjagaannya sangat serius dan signifikan mulai awal diwahyukan sampai sekarang. Beda halnya dengan al-Hadits, yang pada awalnya terkesan kurang begitu mendapat perhatian, terutama ditinjau dari segi penulisannya. karena memang pada awal-awal Islam, penulisan Hadits dikhawatirkan akan mengakibatkan terjadinya "Iltibas" (pencampuran / kesamaran) dengan ayat-yat al-Quran. hal ini memang masuk akal, dikarenakan umat Islam pada awal-awal Islam masih terbilang sedikit yang hafal Al-Quran ataupun ahli Qiraah. namun akan janggal, ketika alasan "Iltibas" itu tetap dipertahankan, ketika umat Islam sudah banyak yang hafal, dan para ahli Qiraah sudah tidak terhitung banyaknya[1].
Keadaan seperti itu terus berlanjut, hingga akhir abad pertama. para ulama (Tabi'in) mulai merasa khawatir, ketika al-Hadits tidak dilestarikan (dikodofikasikan). maka muncullah khalifah Umar bin Abdul Aziz (menurut pendapat masyhur) sebagai pelopor pertama pengkodifikasian al-Hadits secara resmi.

B. TUJUAN PENULISAN 
Dalam makalah singkat ini, penulis ingin sedikit menguraikan pelbagai fase perjalanan " Pengkodifikasian Hadist Pada Abab ke II, III, IV, V Sampai Sekarang”. Dan bagaimana pendapat sahabat agar dapat membuka suatu pandangan yang konfrehensif terhadap pengkodifikasian hadist



BAB II
PEMBAHASAN

A. KODIFIKASI HADIST

Hadist merupakan sumber Hukum Islam kedua setelah Al-Qur’an. Oleh karena hadist menduduki peringkat kedua setelah Al-Qur’an, maka suatu keharusan bagi kaum muslimin untuk mepelajarinya. Tanpa mengenal hadist, rasanya sulit untuk memahami ilmu-ilmu keislaman. Sebagaimana dikemukakan oleh al-Zarkasyi (1344-1391) bahwa Ilmu Hadist termasuk ilmu yang telah matang dan telah pula terbakar, artinya ilmu yang banyak dibahas oleh para ulama dan menjadi mahkota ilmu-ilmu keislaman.
            Meskipun Hadist bukanlah hal yang baru bagi masyarakat Islam masa kini, karena semenjak Muhammad SAW dikenal dengan nama hadist. Hadist tidak lain adalah segala yang dinukilkan pada Rasulullah baik perkataan, perbuatan, takrir dan hal-ikhwalnya. Namun yang menarik adalah kenapa hadist ini dihimpun ( dikodifikasikan ).

1. PENGERTIAN KODIFIKASI
Yang dimaksud kodifikasi ( Tadwinul Hadist ) adalah mengumpulkan, menghimpun atau membukukan, yakni mengumpulkan dan menertibkannya. Adapun yang dimaksud dengan kodifikasi hadis adalah menghimpun catatan-catatan hadis Nabi dalam mushaf.
Antara kodifikasi (tadwin) hadist dan Jam’ul Qur’an memiliki perbedaan. Sebagaimana dikatakan Muhammad Quraisy Syihab , pencatatan dan penghimpunan (tadwin) hadist Nabi tidak sama dengan pencatatan dan penghimpunan al-Qur’an (Jam’ul Qur’an) . Dalam tadwin hadist, tidak dibentuk tim, sedangkan dalam Jam’ul Qur’an dibentuk tim . Kegiatan penghipunan hadist dilakukan secara mandiri oleh masing-masing ulama ahli hadist. Sekiranya penghimpunan hadist itu harus dilakukan oleh sebuah tim, niscaya tim itu akan menjumpai banyak kesulitan, karena jumlah periwayat hadist sangat banyak dan tempat tinggal mereka tersebar di berbagai daerah Islam yang cukup berjauhan.
Di samping itu, hadist Nabi SAW tidak hanya termuat dalam satu kitab saja. Kitab yang memuat hadist Nabi cukup banyak ragamnya, baik dilihat dari segi nama penghimpunnya, cara penghimpunannya, masalah yang dikemukakannya, maupun bobot kualitasnya. Sedangkan kitab yang menghimpun Seluruh ayat al-Qur’an yang dikenal dengan Mushaf al-Qur’an hanya satu macam saja. Dengan demikian, penghimpunan hadist Nabi berbeda dengan penghimpunan al-Qur’an.
Masa kodifikasi (tadwin) hadist terbagi dua, yaitu
Ø            Kodifikasi hadist yang bersifat pribadi (tadwin al-syakhshiy) dan
Kodifikasi yang bersifat pribadi belum menjadi kebijaksanaan pemerintah secara resmi sudah dimulai sejak masa Rasul. Sementara
Ø            Kodifikasi hadist secara resmi (tadwin al-rasmiy).
Kodifikasi hadis secara resmi menjadi kebijaksanaan pemerintah secara resmi baru dimulai pada masa Umar ibn Abdul Aziz.

B.  ABAD KE II H DIWANUL HADIST
1.      PENGERTIAN DIWANUL HADIST
Mengutip dari kitab al Muhith al fairuz mengatakan bahwa : tadwin secara bahasa di terjemahkan dengan kumpulan shahifah ( mujtama’al shuhuf). Mengikat yang berserakan lalu mengumpulkannya menjadi satu diwan atau kitab yang terdiri darilembaran-lembaran[2]. Sedangkan secara makna luasnya adalah al jam’u (mengumpulkan / membukukan).
Apabila merujuk dari dua pengertian diatas dapat di simpulkan pentadwinan hadist dapat diartikan diwanul hadist, dalam bahasa Indonesia nya tadwin ini lebih umum di kenal dengan nama kodifikasi.

2.  KAPANKAH KODIFIKASI HADIST RESMI
Beberapa pendapat yang berbeda mengenai kapan kodifiikasi hadist secara resmi dan serentak di mulai antara lain :
à   Kelompok Syi’ah : atas dasar pendapat hasan al – sadr (1272 – 1354 H), bahwa penulisan hadist telah ada sejak masa Nabi dan komplikasi hadist telah ada sejak awal khalifah Ali Bin Abi Thalib (35 H), terbukti adanya kitab Abu Rafi, (kitab al sunan wal ahkam wal qadaya)
à   Sejak abab I H, yakni atas prakarsa gubernur mesir Abdul Aziz Bin Marwan yang memerintahkan kepada Khatir bin Murrah seorang ulama Himsy yang di perintahkan untuk mengumpukan hadist, yang kmudian disanggah oleh Syudi Ismail dengan alasan bahwa perintah Abdul Aziz Bin Marwan bukan perintah resmi legal dan kedinasan terhadap ulama yang berada di luar wilayah kekuasaanya.
à   Sejak Awal Abad Ke II H, yakni masa ke 5 dinasti Abbasiyyah, Umar Ibnu Abdul Aziz yang memerintahkan kepada semua gubernur dan ulama’ di wilayah kekuasaanya utuk mengumpulkan hadist -  hadist Nabi. Khalifah ini terkenal dengan sebutan Umar II, yang mengisaratkan bahwa ia adalah pelanjut kekhalifahan Umar Ibn Khattab yang bijak sana dalam memimpin tampuk kekuasaan. Khalifah Umar menginstruksikan kepada gubernur madinah Abu Bakar Bin Muhammad Bin Amr Bin Hazm (Ibnu Hazm) untuk mengumpukan hadist yang ada padanya dan pada Tabi’in wanita Amrah Binti Abdurrahman Bin Sa’ad Bin Zurarah Bin ‘Ades, Murid Aisyah Ummul Mukminin. Beliau menyatakan kepada Abu Bakar Muhammad Ibn Amr Ibn Hazm “ Lihat dan priksalah apa yang dapat diperoleh dari hadist Rasulullah SAW, lalu tulislah karena aku takut akan lenyapnya ilmu disebabkan meninggalnya ulama’ dan jangan ada terima selain hadist Rasulullah SAW dan hendaklah anda sebarkan ilmu dan menggandakan majelis-majelis ilmu supaya orang yang tidak mengatahui dapat mengetahuinya lantaran tidak lenyapnya ilmu hingga di jadikannya barang rahasia”.
Berdasarkan instruksi resmi khalifah itu, Ibn Hazm meminta bantuan dan menginstruksikan kepada Abu Bakar Muhammad bin Muslim bin Ubaidillah Bin Syihab Az Zuhry ( Ibnu Syihab Az Zuhry )  seorang ulama besar dan mufti Hijaj dan Syam untuk turut membukukan hadist Rasulullah SAW. 
Pendapat ini yang dianut para Jamhur Ulama’ Hadist, dengan pertimbangan Jabatan Gubernur, Khalifah memerintahkan kepada gubernur dan ulama’ dengan perintah resmi dan legal serta adanya tindak lanjut yang nyata dari para ulama’ masa itu untuk mewujudkan demi terkumpulnya hadist dan kemudian menggandakan serta menyebarkan ke berbagai tempat.
Dengan demikian, penulisan hadist yang sudah ada dan marak tetapi belum selesai di tulis pada masa Nabi, baru di upayakan kodifikasinya secara serentak, resmi dan masal pada abab ke II H, yakni pada masa Khalifah Umar bin Abdul Aziz, meskipun inisiatif tersebut awalnya berasal dari ayahnya, Gubernur Mesir yang pernah mengisaratkan hal yang sama sebelumnya. 

3.   LATAR BELAKANG TADWINUL HADIST.
 Pembukuan hadist dimulai pada akhir abab pertama Hijriah, dan rampung pada pertengahan abad ke III  hal ini tidak terlepas dari adanya dorongan pembukuan hadist oleh khalifah Umar Ibn Abdul Aziz (Khalifah ke 8 bani Umayyah) yang naik tahta dan berkuasa pada tahun 99 H, beliau dikenal sebagai orang yang Adil dan Wara’bahkan sebagaian ulama’  menyebutnya sebagai Khulafaur Rasyidin yang ke 5 karena tergeraknya hati beliau untuk membukukan hadist dengan motif :
Ø            Beliau khawatir ilmu hadist akan hilang karena belum di bukukan dengan baik dan resmi
Ø            Kemauan beliau yang kuat untuk menyaring hadist palsu ( Maudhu’) yang banyak beredar pada masa itu
Ø            Al – Qur’an sudah dibukukan dalam bentuk Mushaf, sehingga tidak ada lagi ke khawatiran akan tercampurnya dengan hadist bila hadist di bukukan.
Ø            Peperangan dalam penaklukan negeri – negeri yang belum islam dan peperangan antar sesama kaum muslimin banyak terjadi, di khawatirkan ulama’ hadist berkurang karena wafat dalam peperangan-peperangan tersebut.
Dari sudut analisa  politik tindakan Umar II ini adalah untuk menemukan dan mengukuhkan landasan pembenaran bagi ideologi jama’ahnya,yang dengan ideologi ia ingin merangkul seluruh kaum muslimin tampa memandang aliran politik atau pemahaman keagamaan mereka,termasuk kaum syi’ah dan Khawarij yang merupakan kaum oposan terhadap rezim Umayyah. Umar II melihat bahwa sikap yang serba akomodatif  pada semua kaum muslim tanpa memandang aliran politik atau paham keagamaan khasnya telah diberikan contohnya oleh penduduk madinah, di bawah kepeloporan tokoh- tokoh seperti Abdullah Ibn Umar (Ibn Al – Khattab), Abdullah Ibn Abbas dan Abdullah Ibn Mas’ud .
Mustafa Al – Siba’I dalam majalah Al – Muslimin seperti yang di kutip Nurcholis Madjid amat menghargai kebijakan Umar II berkenaan dengan pembukuan Sunnah,meskipun ia menyesalkan sikap khalifah yang baginya terlalu banyak memberi angin segar pada kaum Syi’ah dan Khawarij (karena dalam pandangan al- siba’i, golongan oposisi itu kemudian mampu memobilisasi diri sehingga dalam kolaborasinya dengan kaum Abbasi, mereka akhirnya mampu meruntukhan Dinasti Umayyah dan melaksanakan pemebalasan dendam yang sangat kejam).dan menurut Al – Siba’i sebelum masa Umar II pun sebetulnya sudah ada usaha-usaha pribadi untuk mencatat hadist sebagaimana dilakukan Oleh Abdullah Ibn Amr Ibn Ash.

C.  KEADAAN HADIST ABAD KE II H
1.  ALASAN KODIFIKASI HADIST
Setelah agama Islam tersiar dengan luas di masyarakat, dipeluk dan dianut oleh penduduk yag bertempat tinggal di luar jazirah arab, dan para sahabat mulai terpencar dibeberapa wilayah bahkan tidak sedikit jumlahnya yang telah meninggal dunia, maka terasa perlu al-Hadits diabadikan dalam bentuk tulisan dan dibukukan.
Urgensi ini menggerakkan Khalifah Umar bin Abdul Aziz (61-101 H).[3] sebagai (Khalifah ke 8 dari Bani Umayyah)[4] berinisiatif mengkodifikasikan al-Hadits dengan beberapa pertimbangan :
a.     Kenginan beliau yang kuat untuk menjaga keontetikan hadits. karena beliau khawatir lenyapnya hadits dari perbendaharaan masyarakat, disebabkan belum adanya kodifikasi al-Hadits.
b.     Keingina beliau yang keras untuk membersihkan dan memelihara Hadits dari hadits-hadits maudhu' yang dibuat oleh masyarakat untuk mempertahankan ediologi golongan dan mempertahankan madzhabnya, disebabkan adanya Konflik Politik ataupun "Fanatisme Madzhab" berlebihan,  yang mulai tersiar sejak awal berdirinya Khilafah Ali bin Abi thalib.
c.      Alasan tidak terkodifikasinya Hadits di zaman Rasulullah saw. dan khulafaurrasyidin karena adanya kekhawatiran bercampur aduknya dengan al-Quran, telah hilang. hal ini disebabkan al-Quran telah dikumpulkan dalam satu mushaf dan telah merata diseluruh pelosok. Ia telah dihafal dan diresapkan di hati sanubari beribu-ribu umat Islam.
d.   Hingga pada penghujung abad ke I, Khalifah Umar bin Abdul Aziz menginstruksikan (secara resmi) kepada para pejabat dan ulama yang memegang kekuasaan di wilayah kekuasaannya untuk mengumpulkan dan mengkodifikasikan hadits[5].
Beliau juga menginstruksikan kepada Wali Kota madinah, Abu Bakar bin Muhammad bin Amr bin Hazm (177 H.), untuk mengumpulkan hadits yang ada padanya dan pada Tabi'iy wanita, 'Amrah binti Abdur Rahman al-Anshariyah[6].
اكتب إلي بما ثبت عندك من حديث رسول الله صلى الله عليه وسلم بحديث عمرة فإني خشيت دروس العلم وذهابه ( رواه الدارمي )
"Tulislah padaku hadits Rasulullah saw. yang ada padamu dan hadits 'Amrah (binti Abdur Rahman), sebab aku takut akan hilang dan punahnya ilmu"
Atas instruksi itu, Ibnu Hazm mengumpulkan hadits-hadits, baik yang ada pada dirinya maupun yang ada pada 'Amrah, tabi'y wanita yang banyak meriwayatkan dari 'Aisyah r.a. begitu juga beliau menginstruksikan kepada Ibnu Syihab al-Zuhry seorang Imam dan ulama di Hijaz dan Syam (124 H). beliau mengumpulkan dan menulis hadits-hadits dalam lembaran-lembaran dan dikirimkan kepada masing-masing penguasa di tiap-tiap wilayah satu lembar. itulah sebabnya para ahli sejarawan dan ulama menganggap bahwa Ibnu Syihab adalah orang yang pertamakali mengodifikasikan  hadits secara resmi atas perintah Khalifah Umar bin Abdul Aziz.
Setelah periode Ibnu Hazm dan Ibnu Syihab berlalu, muncullah periode pengkodifikasian hadits yang di cetuskan oleh khalifah-khlalifah Abbasyiah. Maka bangunlah ulama’-ulama’ pada periode ini seperti : di mekah, Ibnu Juraij al-Bashary ( w. 150 H.). di Madinah, Abu Ishaq (w. 151 H.) al-Imam Malik bin Anas (w. 179 H.). di Bashrah, al-Rabi' bin Shabih (w. 106 H) dan Hammad bin Salamah (w. 176 H.). di Kufah, Sufyan Atsaury (w. 166 H.). Di Syam, al-Auza'iy (w. 156 H.). di Syam, Hasyim (w 156 H.) dan Ibnu al-Mubarak (w. 171 H.).
Oleh karena mereka hidup dalam generasi yang sama, yaitu pada abad ke II H., sukar untuk ditetapkan siapa diantara mereka yang lebih dahulu. yang jelas bahwa mereka itu sama berguru kepada Ibnu Hazm dan al-Zuhry.

2.     CIRI-CIRI KITAB HADITS YANG DIKODIFIKASIKAN PADA ABAD KE-II H
Terdorong oleh kemauan keras untuk mengumpulkan (mentadwin) hadits sebanyak-banyaknya, mereka tidak menghiraukan atau belum sempat menyeleksi apakah mereka mendewankan hadits Nabi semata–semata, ataukah termasuk fatwa-fatwa sahabat dan tabi'in. bahkan lebih jauh dari itu mereka belum mengklarifikasi kandungan nash-nash Hadits menurut kelompok-kelompoknya.
Dengan demikian, karya ulama abad II H ini masih bercampur aduk antara hadits-hadits Rasulullah dengan fatwa-fatwa sahabat dan tabi'in. Walhasil, bahwa kitab-kitab hadits karya ulama-ulama tersebut belum dipisah antara hadits marfu', mauquf dan maqthu', dan diantara hadits yang Shahih, Hasan dan Dhaif.
sedangkan kitab-kitab hadits yang masyhur karya ulama abad kedua antara lain :
1.      Al-Muwaththa', kitab itu disusun oleh al-Imam Malik pada tahun ( 93 – 179 H ) selama rentang waktu ini, sejumlah buku hadist telah disusunnya kitab ini memiliki kedudukan tersendiri pada priode ini. Dan buku ini di tulis antara tahun 130 H sampai 144 H. atas anjuran Khalifah al-Manshur. jumlah hadits yang terdapat dalam al-Muwaththa' kurang lebih 1720 buah hadits.
*              600 Hadistnya Marfu’ ( terangkat sampai kepada Nabi SAW )
*              222 Hadistnya Mursal ( adanya perawi sahabat yang di gugurkan )
*              617 Hadistnya Mauquf ( terhenti sampai kepada tabi’in )
*              275 Sisanya adalah ucapan Tabi’in.
kehadirannya dalam masyarakat mendapat sambutan hangat dari pendukung-pendukung sunnah. sebagaimana ia di isyaratkan dan dikomentari oleh ulama-ulama hadits yang datang kemudian, juga diringkasnya. al-Suyuthi mensyarah kitab tersebut dengan kitab "Tanwiru al-Hawalik", dan al-Khaththaby mengikhtisharnya dengan kitab yang beranama "Mukhtahsaru al-Khaththaby"
2.     Musnadu al-Syafi'Ibnu Abi Ya'la, Muhammad bin Idris Asy – Syafi’i ( 150 – 204 H ), didalam kitab ini, al-Syafi'i mencantumkan seluruh hadits yang berada dalam kitab al-Umm.
3.     Mukhtalifu al-Hadits, karya Imam ( 150 – 204 H ), beliau menjelaskan dalam kitab ini, cara-cara menerima hadits sebagai hujjah, dan menjelaskan cara-cara untuk mengkrompomikan hadits-hadits yang tampaknya kontradiksi antara satu dengan yang lain.
4.      Al – Musnad oleh Imam Abu Hanifah An- Nu’man ( Wafat 150 H )
5.      Al – Musnad oleh Imam Ali Ridha Al – Katsin ( 148 – 203 H ).
6.      Al – Jami’ oleh A Abdulrazaq Al – Hamam Ash Shan’ani ( Wafat 311 H )
7.      Mushannaf oleh Imam Syu’bah bin Jajaj ( 80 – 180 H ).
8.      Mushannaf oleh Imam Laits bin Sa’ud ( 94 – 175 H ).
11.  Mushannaf oleh Imam Sufyan bin Uyaina ( 107 – 190 H ).
12.  As-Sunnah oleh Imam Abdurrahman Bin Amr Al-Auza’I ( wafat 157 H ).
13.   As-Sunnah oleh Imam Abd bin Zubair bin Isa Al – Sadi .
Semua kitab-kitab hadist yang ada pada abad ini tidak sampai kepada kita kecuali 5 buah saja yaitu no 1 sd 5.

D.    PERIODE PENYARINGAN AL-HADITS ABAD KE III H
Pada abad ke III H ini para ulama’ hadist memfokuskan pengkodifikasian hadist pada beberapa hal yang dikala waktu abad ke 2 H tidak terlaksana. Sudah di kemukakan pada masalah sebelumya bahwa pembukuan hadist belum terpisah – pisah anatara hadist yang saheh, hasan, mauquf dan maudhu’.
      Beberapa langkah untuk melestarikan hadist pada abad ke III H ini adalah sebagai berikut :
v     Perlawatan kedaerah – daerah para perawi hadist yang jauh dari pusat kota
Contohnya ;
Imam Bukhari melakukan perlawatan selama 16 tahun ke lebih 8 kota di timur tengah seperti Mekah, Madinah, Bagdad Mesir dll.
v     Pengklafikasian hadist marfu’, mauquf dan maudlu’( palsu )
v     Hadist Nabi, Asar Sahabat, dan Aqwal ( Ucapan ) Tabi’in dikategorikan, dipisah dan dibedakan 
v     Riwayat Maqbulah ( di terima ) dihimpun secara terpisah dan buku – buku pada abad ke II diperiksa kembali dan di tashih ( diautentikasi).
v     Selama priode ini, bukan hanya riwayat yang di kumpulkan, namun untuk memelihara dan menjaga hadist ( lebih dari 100 ilmu 19 ) dimana ribuan buku mengenai ini telah di tulis.
v     Penyeleksian dan pemilihan hadist kepada shahih, hasan dan dhaif.
Contoh :
·        Penyaringan Hadist Sahih oleh imam ahli hadist Ishaq Bin Rawahih ( Gurunya Imam Bukhari )
·        Penyusunan kitab Saheh Bukhari
Periode ini dikenal dengan periode penyaringan Hadits atau seleksi hadits yang ketika itu pemerintahan dipegang oleh Khalifah dari Bani Umayyah. pada masa ini para ulama bersungguh-sungguh mengadakan penyaringan Hadist, melalui kaidah-kaidah yang ditetapkan, mereka berhasil memisahkan hadits-hadits yang dhaif dari yang shahih, dan hadits- yang mauquf dan maqthu' dari yang marfu', meskipun berdasarkan penelitian masih ditemukan beberapa hadits dhaif yang terselip di kitab hadits shahih mereka[7]. Maka pada pertengahan abad ketiga ini, mulai muncul kitab-kitab hadit yang hanya memuat hadits-hadits shahih, dan pada perkembangannya dikenal dengan "al-Kutubu al-Sittah" yaitu :
1.      Shahih al-bukhari atau al-Jami'u al-Shahih[8]. karya Muhammad bin Ismail al-Bukhari (194-256 H.) Beliau adalah Amir al-Mukminin dalam hadist beliau bernama Abu Abdullah Muhammad bin Isma’il bin ibrohim Bin Mughirah bin Bardizbah Beliau dilahirkan 13 Syawal 194 H, wafat malam idul fitri tahun 256 H. Karena keluasan ilmu dan kekuatan hafalannya dia dijuluki Imam al-Muhaddisin. Menurut penelitian Ibnu Hajar (852 H.). seperti yang disebutkan dalam pendahuluan kitabnya "Fathu al-Bari Fi Syarhi al-Bukhari", kitab shahih itu berisi 9.082  hadits yang terdiri dari 2602 buah hadits yang tidak terulang-ulang, dan 159 matan hadits marfu'. namun Ibnu Hajar tidak menghitung hadits marfu' dan maqthu' yang terdapat dalam Bukhari[9]. Kitab tersebut merupakan kitab hadits yang shahih (otentik) setelah al-Quran. dan di antara Mukhtashar Bukhari ialah Tajridu al-Sharih dan Mukhtashar Abi Jamrah, Masing-masing karangan Ibnu al-Mubarak dan Ibnu Abi Jamrah.
2.      Shahih al-Muslim,, karya al-Imam Muslim bin Hajjaj bin Muslim al-Qusyairy al-Naisabury (204-261 H.)[10].
Nama lengkap beliau adalah Imam Abdul Husain bin al–Hajjaj bin Muslim. Dia dilahirkan Naisabur tahun 204 H wafat tahun 261 H. Beliau adalah imam hadits kedua setelah Imam Bukhari. Menurut sebagian ulama Maghribi dan Abu Muhammad bin Hazm Al-Dzahiri kitab yang dikarang oleh beliau lebih utama dibandingkan dengan Sahih Bukhari. Hal ini dikarenakan ada beberapa hal yang membuat kitab Sahih Muslim lebih diutamakan antara lain:
1.   Karena kebagusan susunannya yang teratur.
2.  Hadits yang teriwayatkannya sejalan dan dalam satu tema di kumpulkan dalam satu tempat, tanpa memotong hadits ke dalam bab lain.
3.   Hadits yang diriwayatkan hanya hadits marfu’ dan tidak meriwayatkan hadits mauquf dan muallaq.
Jika mereka mengutamakan Sahih Muslim karena beberapa hal berdasarkan syarat-syarat keshahihan hadits kami tidak sependapat. Walaupun begitu kitab Sahih Bukhori dan Muslim merupakan kitab paling sahih yang pernah ditulis oleh imam hadits. Pengarangnya telah memberikan sumbangan yang luar biasa besarnya kepada agama. Oleh karena itu kita patut bersyukur dengan menghormati mereka atas jasanya yang tidak dipungkiri lagi.
3.     Sunan Abu dawud, karangan Abu Dawud
Nama lengkap beliau adalah Sulaiman bin al-Asy’as bin Ishaq Basyir bin Syidad bin Amir al-Sajastani, dia dilahirkan tahun 202 H wafat 275 H. Hadits yang ditulis oleh beliau tidak hanya memasukkan hadits sahih saja, akan tetapi memasukkan hadits hasan dan dha’if. Dalam kitab yang dikarang oleh beliau terkenal sebagai kitab Hakim .
4.     Sunan al-Tirmidzi, Karangan Muhammad bin Isa bin Surah al-Tirmidzi. Beliau lahir pada malam senin 13 Rajab tahun 209 H dan wafat tahun 279 H. Metode yang digunakan beliau dalam menulis hadits adalah apapun yang diamalkan oleh ahli fiqh maka oleh beliau diriwayatkan. Oleh karena itu beliau meriwayatkan hadits baik yang hasan, dhoif, ghorib dan muallal dengan disertai penjelasan sesuai dengan derajad haditsnya.
5.     Sunan Nasa'i, karangan Ahmad Bin Sya’ban Abu Abdu al-Rahman bin Suaid Ibnu Bahr al-Nasa'iy. Beliau lahir pada tahun 215 H dan wafat tahun 303 H dalam kitab beliau yang bernama Sunan Nasai hampir sama dengan kitab hadits bukhori dan Muslim dengan artian yang ditulis di dalamnya adalah hadits yang sahih meskipun ada sedikit hadits yang dha’if.
6.     Sunan Ibnu Majah, karangan Muhammad Abu Abdillah Ibnu Yazid Ibnu Majah Beliau lahir pada tahun 209 H dan wafat tahun 273 H. dari kelima kitab hadits kitab karangan beliau yang menempati urutan yang keenam. Hal ini karena ada sebagian ulama yang tidak mengikutsertakan kitab karangan Imam Ibnu Majjah ke dalam kitab hadits pokok.
7.      As-Sunan oleh Imam Abu Muhammad Abdullah Bin Abdurrahman Ad Damiri ( 181- 255 H )
8.      Al–Musnad oleh Imam Bin Hambal ( 164 – 241 H )
9.      Al–Muntaqa Al Ahkam oleh Imam Abdul Hamid Bin Jarud ( Wafat 307 H )
10.  Al–Mushannaf oleh Imam Ibn Abi Syaibah (  Wafat 235 H )
11.  Al–Kitab oleh Imam Muhammad Said Bin Manshur ( Wafat 227 H )
12.  Al–Mushannaf oleh Imam Muhammad Said Bin Manshur ( Wafat 227 H )
13.  Tandzibul Afsar oleh Imam Muhammad Bin Jarir At – Thobari ( Wafat 310 )
14.  Al–Musnadul Kabir oleh Imam Baqi’bin Makhlad Qurthubi (Wafat 276 H)
15.  Al–Musnad oleh Imam Ishaq Bin Rawahih ( Wafat 237 H )
16.  Al–Musnad oleh Imam Ubaidillah bin Musa ( Wafat 213 H )
17.  Al–Musnad oleh Abdibni Ibn Humaid ( Wafat 249 H )
18.  Al–Musnad oleh Imam Abu Ya’la ( Wafat 307 H )
19.  Al–Musnad oleh Imam ibn Abi Usamah Al-Harist Ibn Muhammad  At- Tamimi (Wafat 282 H)
      Dan masih banyak sekali kitab-kitab musnad yang di tulis oleh para ulama abad ini.

E.    PERIODE PENGHAFALAN HADITS ABAD KE IV H
A.  KEGIATAN PERIWAYATAN HADIST
            Pada priode ini penghimpunan hadist disertai pemeliharaan nya tetap dilakakukan walau tidak sebanyak yang sebelumnya. Hanya saja hadist-hadist yang di himpun tidaklah sebanyak sebelum priode ini.
            Didalam era ini jenis kitab-kitab hadsit Nabi SAW. Mencakup sebagain besar kitab-kitab hadist yang sifatnya mengumpulkan kitab-kit ab hadist yang telah dihimpun dalam kitab-kitab hadist Nabi SAW sebelumnya.
            Kegiatan periwayatan hadist pada priode ini banyak dilakukan dengan cara ijazah ( lesensi/ sertifikat dari guru utnutk murid untuk mendapat izin meriwayatkan hadist ). Sedikit sekali ulama’ yang melakukan seperti ulama’ Muqaddimin.

B. BENTUK PENYUSUNAN KITAB PADA PRIODE INI
            Para ulama’ hadist pada umumnya merujuk kepada karya yang telah ada dengan bentuk kegiatan seperti mempelajari, menghafal, memeriksa, dan menyelidiki sanadnya. Seperti kitab
·        Jami’ Kutub As-Sittah ( kitab hadist yang mengumpulkan hadist- hadist Nabi SAW yang telah tertuang dalam gabungan beberapa kitab hadist seperti
·        Saheh Bukhari
·        Saheh Muslim
·        Sunan At – Turmuzi
·        Sunan Abu Daud
·        Sunan An – Nasa’i
·        Sunan Ibnu Majah
·        Diantaranya karya Ahmad bin Razin Bin Muawiyyah Al Abdari Al Saeqithi ( Wafat 535 H ) dan beberapa kitab lainya.
·        Kitab Istikhraj, yaitu mengambil sesuatu hadist dari Sahih Bukhari Muslim umpanya, lalu meriwayatkkannya dengan dengan sanad sendiri, yang lain dari sanad Imam Bukhari atau Imam Muslim karena tidak memproleh sanad sendiri.
Contohnya
      Mustakhraj Shaheh Bukhari oleh Imam Jurjani, dan Mustakhraj Saheh Muslim oleh Abu Awanah
·        Kitab Athraf, yaitu kitab yang hanya menyebut sebagain hadist kemudian mengumpulkan seluruh sanadnya, baik sanad kitab maupun sanad dari beberapa kitab.
·        Kitab – Kitab Zawaid, Yaitu kitab mengumpulkan hadist-hadist yang tidak terdapat dalam kitab-kitab sebelumnya kedalam sebuah kitab yang tertentu.
Contohnya
      Zawaid Ibnu Majah Ala Al –Usuli Al Khamsah.
·              Kitab Syarah
·              Kitab Mukhtashar
·              Kitab Petunjuk
·        Kitab Istidrak, yaitu mengumpulkan hadist-hadist yang memiliki syarat- syarat Bukhari dan Muslim atau syarat salah seorangnya yang kebetulan tidak diriwayatkan atau di sahehkan oleh kediuanya.
Contohnya
      Al – Mustadrak Ala Shahihaini oleh Imam Abu Abdullah Muhammad bin Abdullah Al-Hakim An- Naisaburi ( 321 – 405 H )

Abad ke IV H ini merupakan abad pemisahan antara ulama’ Mutaqaddimin, yang dalam menyusun kitab hadits mereka berusaha sendiri menemui para sahabat atau tabi’in atau tabi’ tabi’in yang menghafal hadits dan kemudian menelitinya sendiri, dengan ulama’ mutaakhirin yang dalam usahanya menyusun kitab-kitab hadits, mereka hanya menukil dari kitab-kitab yang disusun oleh ulama mutaqaddimin.
Mereka berlomba-lomba untuk menghafal sebanyak-banyaknya hadits-hadits yang telah dikodifikasikan, sehingga tidak mustahil sebagian dari mereka sanggup menghafal beratus-ratus ribu hadits. Sejak periode inilah timbul bermacam-macam gelar keahlian dalam ilmu hadits, seperti gelar al-Hakim dan al-Hafidz[11]. Adapun Kitab–kitab yang masyhur hasil ulama abad ke-empat, antara lain :
1.     Mu’jamu al-Kabir, M’jamu al-Awsath, Mu’jamu al-Shaghir, karya al-Imam Sulaiman bin Ahmad al-Tabrany (360 H).
2.     Sunan al-Daruquthny, karya al-Imam Abdul Hasan Ali bin Umar bin Ahmad al-Daruquthny (306-385 H.).
3.      Shahih bin ‘Auwanah, karya Abu ‘Auwanah Ya’qub bin Ishaq bin Ibrahim al-Asfayainy (354 H.).
4.      Shahih Ibnu Khudzaimah, Karya Ibnu Khudzaimah Muhammad bin Ishaq (316 H.).

F.    PERIODE MENGKLASIFIKASIKAN DAN MENSISTEMASIKAN SUSUNAN KITAB-KITAB HADITS ABAD KE V SAMPAI SEKARANG
Usaha ulama ahli hadits pada abad ke V samapi sekarang adalah ditujukan untuk mengklasifikasikan Hadits dengan menghimpun hadits-hadits yang sejenis kandungannya atau sejenis sifat-sifat isinya dalam satu kitab hadits. Disamping itu mereka pada men-syarahkan[12] dan mengikhtishar[13] kitab-kitab hadits yang telah disusun oleh ulama yang mendahuluinya. seperti yang dilakukan oleh Abu 'Abdillah al-Humaidi (448 H.) adapun contoh kitab-kitab hadits pada periode ini antara lain:
1.      Sunan al-Kubra, Karya abu Bakar Ahmad bin Husain 'Ali al-Baihaqy (384-458 H.)
2.      Muntaqa al-Akhbar, karya Majduddin al-Harrany (652 H.)
3.      Fathu al-Bari Fi Syarhi al-Bukhari, Karya Ibnu Hajar al-'Asqolany (852 H.).
4.     Nailu al-Awthar, Syarah kitab Muntaqa al-Akhbar, karya al-Imam Muhammad bin Ali al-Syaukany (1172- 1250 H.)
            Hadits dimasa abad V H sampai sekarang hanya ada sedikit tambahan dan modifikasi kitab-kitab terdahulu. Sehingga karya-karya ulama hadits abad kelima lebih luas, simple dan sistematis. Diantara mereka adalah :
1.      Abu Abdillah al-Humaidi tahun 448 H beliau mengumpulkan 2 kitab sahih sesuai urutan sanad.
2.  Abu Sa’adah Mubarak bin al-‘Asyir tahun 606 H beliau mengumpulkan enam kitab hadis dengan urutan bab.
3.  Nuruddin Ali al-Haitami beliau melengakapi 6 kitab dengan karangan-karangan lain ( selain  kutub al-sittah ).
4.  Al-Suyuthi tahun 911 H beliau menulis kitab yang berjudul al-Jami al-Kabir
Dan muncul pula Kitab-kitab hadits targhib dan tarhib, sepeti :
1.      Al-Targhib wa al-Tarhib, karya al-Imam Zakiyuddin Abdul ‘Adzim al-Mundziry (656 H.)
2.      Dalailu al-falihin, karya al-Imam Muhammad Ibnu ‘Allan al-Shiddiqy (1057 H.) sebagai kitab syarah Riyadu al-Shalihin, karya al-Imam Muhyiddin abi zakaria al-Nawawawi (676 H.)
Pada periode ini para ulama juga menciptakan kamus hadits untuk mencari pentakhrij suatu hadits atau untuk mengetahui dari kitab hadits apa suatu hadits didapatkan, misalnya :
1.      al-Jami’u al-Shaghir fi Ahaditsi al-Basyiri al-Nadzir , karya al-Imam Jalaluddin al-Suyuthy (849-911 H.)[14]
2.      Dakhairu al-Mawarits fi Dalalati ‘Ala Mawadhi’i al-Ahadits, karya al-Imam al-‘Allamah al-Sayyid Abdul Ghani al-Maqdisy al-Nabulisy[15] .
3.      Al-Mu'jamu al-Mufahras Li al-Alfadzi al-Haditsi al-Nabawy, Karya Dr. A.J. Winsinc dan Dr. J.F. Mensing[16].
4.       Miftahu al-Kunuzi al-Sunnah, Karya Dr. A.J. Winsinc[17],





BAB III
PENUTUP

A. KESIMPULAN
Dari sedikit uraian sejarah kodifikasi al-Hadits tersebut, dapat kita tarik sebuah kesimpulan, bahwa hadits yang sekarang bisa kita nikmati dari kitab-kitab hadits susuanan para ulama, ternyata memiliki sejarah perjuangan yang besar, dan melalui pelbagai pertimbangan yang sangat matang, hingga ungkapan "terima kasih" belaka, penulis kira tidak cukup jika tanpa di seimbangkan dengan aksi nyata. paling tidak mengembangkan wawasan lebih luas lagi, baik dari segi memahami kandungan hadits ataupun metode pemahamannya.

B. SARAN
Sudah sepantasnya kita berterima kasih kepada imam-imam hadits yang begitu susah payah dalam mengumpulkan hadits. Akan tetapi sebagai pelajar yang sedang mempelajari hadits, sudah waktunya kita kritis terhadap hadits yang kita jumpai, apakah itu kajian tentang sanad maupun matan hadits. Karena dengan begitu kita berarti telah mencoba mengkontekstualisasikan haditst, dengan harapan menghilangkan asumsi-asumsi bahwa hadits merupakan sebuah budaya yang terikat dengan ruang, waktu dan zaman yang pada akhirnya menuntut pembekuan hadits itu sendiri. Bagaimanapun juga kondisi sosial dan budaya telah mengalami perubahan sehingga diperlukan pula dinamisasi pemahaman pedoman hidup yang dalam hal ini adalah al-Quran dan hadits. Cukup sekian apa yang dapat kami sajikan kiranya ada kekurangan mohon untuk dilengkapi.






















DAFTAR PUSTAKA


al-Khothib, Muhammad Ajjaj. "Ushulu al-Hadits Ulumuhu Wa Mushthalahuhu",  Daru al-Fikr. tt. Beirut.
al-Maliki, Muhammad Bin Alwi. "al-Manhalu al-Lathif Fi Ushuli al-Hadits al-Syarif". al-Sahr. tt. Jeddah.
Mudasir "Ilmu Hadis" ; 2008 M./1429 H.Pustaka Setia. Surabaya
Rahman, Fatchur. "Khtishar Musthalahu'l Hadits". 1974. PT. ALMA'ARIF BANDUNG.
Shalih, Shubhi Shalih. "Ulumu al-Hadits Wa Mushthalahuhu". 1959. Daru al-Ilmi Li al-Malayin. Beirut






[1] Muhammad Bin Alwi al-Maliki, "al-Manhalu al-Lathif Fi Ushuli al-Hadits al-Syarif". al-Sahr. tt. Jeddah. hlm 19-20.

[2] Dr. Muhammad Ibn Mathar Al - Zahrani
[3] bahkan Umar bin Abdul Aziz sendiri termasuk orang yang menulis al-Hadits, lihat Dr. Muhammad Ajjaj al-Khothib, "Ushulu al-Hadits Ulumuhu Wa Mushthalahuhu"Daru al-Fikr. tt.Beirut. hlm. 170
[4] Drs. H. Mudasir "Ilmu Hadis" ; 2008 M./1429 H.Pustaka Setia. Surabaya. hlm.105
[5] Dr. Muhammad Ajjaj al-Khothib, Opcit.. hlm. 172
[6] dan al-Qosim bin Muhammad bin Abu Bakar (107 H.). lihat Muhammad Bin Alwi al-Maliki,Opcit. hlm 22

[7] Drs. H. Mudasir "Ilmu Hadis" ; 2008 M./1429 H.Pustaka Setia. Surabaya. hlm.109
[8] yang dimaksud dengan al-Jami', yaitu kitab hadits yang menghimpun delapan bab, yaitu Bab Akidah, Bab Hukum-hukum, Bab Perbudakan, Bab Tatakrama makan dan minum, Bab Tafsir, sejarah, Perjalanan, Bab Bepergian, Berdiri, dan Duduk (atau disebut dengan Babu al-Syamail), Bab Fitnah-fitnah, Bab al-Manaqib dan Matsalib. Dr. Shubhi Shalih. "Ulumu al-Hadits Wa Mushthalahuhu". 1959. Daru al-Ilmi Li al-Malayiin" Beirut. hlm.122
[9] Ibid.. hlm.120
[10] Kitab tersebut berisi sebanyak 7.273 hadits, termasuk hadits-hadits yang berulang-ulang. jika tanpa hadits yang berulang-ulang hanya berjumlah 4000 hadits. Syarah Shahih Muslim yang terkenal ialah "Minhajul Muhadditsin" karya al-Imam Muhyiddin Abu Zakaria bin Syaraf al-Nawawy, dan diantara Mukhtasharnya ialah Mukhtashar al-Mundziri.. lihat , Fatchur. Rahman. "Khtishar Musthalahu'l Hadits". 1974. PT. Al  Ma'arif. Bandung. hlm. 57

[11] Ibid. hlm 58
[12] Menguraikan dengan luas hadist-hadist yang telah ada
[13] Meringkas hadist-hadist yang sudah jelas makna dan tujuannya
[14]kitab yang mengumpulkan hadits-hadits yang terdapat dalam kitab enam dan lainnya ini disusun dengan alphabets dari awal hadits, dan selesai ditulis pada tahun 907 H. Ibid. hlm 60
[15] didalamnya terkumpul kibat athraf 7 (Shahih Bukhary dan Muslim, Sunan empat dan Muwattha’). Ibid.
[16] Keduanya adalah Dosen di Universitas Leiden. Kitab hadits yang mengandung hadits-hadits kitab enam, musnad al-Darimy, Muwattha’ Malik, dan Musnad Imam Ahmad, selesai dicetak di Leiden pada tahun 1936 M. Ibid.
[17] Berisikan hadits-hadits yang terdapat dalam 14 macam kitab hadits. Kitab tersebuut disalin kedalam bahasa Arab oleh Ustadz Muhammad fuad abdu al-Baqy dan dicetak dimesir pada tahun 1934 M. Ibid.

1 komentar: